NGAJAGA LEMBUR, NGAJAGA LINGKUNGAN: SOLUSI SAMPAH BERBASIS BUDAYA SUNDA DI KABUPATEN BOGOR




Kabupaten Bogor dikenal sebagai salah satu daerah dengan dinamika sosial, budaya, dan lingkungan yang khas. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup telah memicu meningkatnya volume sampah. Kondisi ini menuntut solusi berkelanjutan yang tidak hanya mengandalkan teknologi modern, tetapi juga menggali nilai-nilai kearifan lokal.

Masyarakat Sunda, termasuk yang tinggal di Kabupaten Bogor, memiliki filosofi hidup yang menekankan harmoni dengan alam. Prinsip silih asah, silih asih, silih asuh serta pepatah leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Budaya ini bisa dijadikan fondasi solusi pengelolaan sampah yang lebih partisipatif.

 

PERMASALAHAN SAMPAH DI KABUPATEN BOGOR

Permasalahan sampah di Kabupaten Bogor semakin kompleks seiring pertumbuhan penduduk yang mencapai lebih dari 5,6 juta jiwa. Setiap harinya, timbulan sampah tercatat sekitar 2.757–2.800 ton, namun hanya sekitar 700–900 ton yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga. Artinya, lebih dari 1.800 ton sampah per hari tidak tertangani dengan baik dan berpotensi menumpuk di lingkungan, dibakar sembarangan, atau mencemari aliran sungai. Kesenjangan besar antara produksi dan pengelolaan ini menjadi masalah utama dalam tata kelola sampah daerah.

Kondisi TPA Galuga sendiri sudah berada di titik kritis, dengan volume sampah yang jauh melebihi kapasitas, hanya sebagian kecil yang dapat diolah dengan baik, sementara sisanya menumpuk dan menimbulkan dampak serius, seperti bau menyengat, air lindi yang mencemari tanah dan sungai, hingga risiko longsor sampah. Pemerintah Kabupaten Bogor bahkan harus mengalokasikan dana darurat sebesar Rp25 miliar untuk penanganan, yang mencakup perapihan timbunan hingga penerapan metode sanitary landfill. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan yang ada belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan sampah harian.

Meski begitu, langkah regulatif seperti penerapan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Bogor Asri Tanpa Plastik (Antik) memberikan dampak positif. Data menunjukkan produksi sampah berkurang dari sekitar 2.800 ton menjadi 2.436 ton per hari, atau berkurang ±364 ton per hari. Walaupun masih menyisakan masalah struktural, penurunan ini membuktikan bahwa kebijakan berbasis regulasi dan perubahan perilaku masyarakat dapat membantu mengurangi beban sampah..

  

 

KEBERSIHAN DALAM FILOSOFI SUNDA

Masyarakat Sunda memiliki falsafah hidup yang menekankan kebersihan lahir dan batin. Pepatah “resik jantungna, resik lemburna” menggambarkan keterhubungan antara kebersihan hati dan kebersihan lingkungan sekitar. Dalam ajaran Sunda Wiwitan maupun tradisi Islam yang melekat kuat, kebersihan dianggap bagian dari iman.

Konsep “cageur, bageur, bener, pinter, tur singer” juga menunjukkan bahwa sehat dan bersih (cageur) menjadi fondasi penting bagi pribadi yang baik. Bagi orang Sunda, lingkungan yang kotor dianggap mencerminkan kelalaian moral masyarakatnya. Dengan demikian, nilai-nilai ini dapat menjadi modal sosial yang kuat untuk mendorong perilaku peduli sampah.

 

SOLUSI BERBASIS BUDAYA SUNDA

1. Menghidupkan Nilai Gotong Royong (Sabilulungan)

Budaya Sunda memiliki semangat sabilulungan yang berarti gotong royong atau kerja bersama. Nilai ini dapat dijadikan landasan dalam pengelolaan sampah di tingkat desa maupun perkotaan. Melalui kegiatan bersama, seperti kerja bakti rutin, Ngajaga Lembur, atau program Jumsih (Jumat Bersih), masyarakat tidak hanya membersihkan lingkungan tetapi juga mempererat solidaritas sosial. Semangat kebersamaan ini membuat tanggung jawab pengelolaan sampah terasa lebih ringan.

2. Edukasi Berbasis Pepatah Sunda

Kearifan lokal Sunda banyak terekam dalam pepatah yang sarat makna, salah satunya berekah tina beresih yang menegaskan bahwa kebersihan membawa berkah. Pepatah semacam ini dapat digunakan sebagai alat edukasi yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Sosialisasi kebersihan berbasis budaya lokal bisa dilakukan melalui sekolah, pengajian, hingga pertemuan desa, sehingga pesan moral yang disampaikan lebih mudah diterima. Dengan pendekatan ini, nilai kebersihan tidak hanya menjadi kewajiban praktis, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.

3. Penguatan Lembaga Adat dan Sanksi Sosial

Masyarakat Sunda tradisional memiliki mekanisme pengawasan sosial melalui lembaga adat. Prinsip ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan sampah. Misalnya, warga yang membuang sampah sembarangan bisa dikenai teguran atau sanksi sosial yang ringan, seperti membersihkan fasilitas umum. Sebaliknya, warga yang konsisten menjaga kebersihan diberikan apresiasi atau penghargaan oleh tokoh masyarakat..

4. Bank Sampah Berbasis Komunitas

Konsep silih asah, silih asih, silih asuh yang berarti saling mengajari, mengasihi, dan mengasuh dapat menjadi filosofi pengelolaan bank sampah. Melalui bank sampah, warga didorong untuk memilah dan menyetorkan sampah anorganik seperti plastik atau kertas. Hasil penjualan kemudian bisa digunakan untuk menambah kas desa, membiayai kegiatan sosial, atau memberikan insentif kepada warga yang aktif. Dengan pengelolaan berbasis komunitas, bank sampah bukan hanya alat pengurangan sampah, tetapi juga menjadi media pemberdayaan ekonomi sekaligus memperkuat kebersamaan.

5. Inovasi Produk Daur Ulang Berbasis Seni Sunda

Masyarakat Sunda kaya dengan seni dan kerajinan tangan, dan potensi ini bisa dikembangkan melalui daur ulang sampah. Plastik bekas dapat dianyam menjadi tas atau tikar dengan motif tradisional, sementara kain dan botol dapat diolah menjadi kerajinan unik. Pelatihan daur ulang berbasis seni Sunda bisa diberikan kepada ibu rumah tangga dan pemuda, sehingga sampah yang semula dianggap beban justru menjadi sumber nilai ekonomi..

6. Gerakan Religius: Kebersihan Sebagai Bagian dari Iman

Mayoritas masyarakat Sunda beragama Islam, dan ajaran “kebersihan sebagian dari iman” sejalan dengan falsafah hidup Sunda. Gerakan kebersihan bisa diperkuat melalui pendekatan religius, misalnya dengan menjadikan masjid sebagai pusat edukasi lingkungan. Ceramah keagamaan dapat mengaitkan nilai kebersihan dengan ajaran agama sekaligus budaya Sunda, sehingga pesan lebih membekas. Dengan pendekatan spiritual ini, masyarakat akan lebih terdorong menjaga kebersihan, karena bukan hanya urusan sosial tetapi juga dianggap bagian dari ibadah.

7. Festival Budaya dan Lingkungan

Budaya Sunda selalu identik dengan kesenian dan tradisi kolektif. Mengemas pengelolaan sampah dalam bentuk festival dapat membuatnya lebih menarik dan membudaya. Misalnya, lomba kampung bersih dengan penilaian berbasis adat Sunda, pementasan seni bertema lingkungan, atau festival daur ulang dengan pameran produk ramah lingkungan. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat, kegiatan ini juga menjadi sarana hiburan sekaligus pelestarian budaya. Dengan cara ini, isu sampah tidak lagi dianggap sekadar beban, melainkan bagian dari kreativitas dan perayaan budaya lokal.

8. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Akademisi

Solusi berbasis budaya Sunda perlu diperkuat dengan dukungan modern dari pemerintah dan akademisi. Pemerintah dapat menyediakan regulasi, fasilitas, dan insentif, sementara akademisi berperan dalam penelitian dan pengembangan inovasi teknologi pengelolaan sampah. Kolaborasi ini harus melibatkan tokoh adat, sekolah, komunitas, dan dunia usaha, sehingga solusi yang dihasilkan lebih holistik. Integrasi antara nilai lokal dan ilmu modern yang berkelanjutan, diterima masyarakat, sekaligus efektif mengatasi persoalan nyata.

 

KESIMPULAN

Permasalahan sampah di Kabupaten Bogor tidak bisa hanya ditangani dengan pendekatan teknis dan regulasi semata. Dibutuhkan pendekatan kultural yang berbasis pada nilai dan kearifan lokal masyarakat. Budaya Sunda, dengan filosofi, tradisi gotong royong, dan pandangan ekologisnya, memberikan landasan yang kuat untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, kampus, dan masyarakat, solusi sampah berbasis budaya Sunda bukan hanya menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga menguatkan identitas budaya sebagai modal sosial pembangunan berkelanjutan.

Penulis :
Wahyu Bagja Sulfemi, M.Pd.
Wakil Rektor 2
Bisnis Dgital


Go Back Top