-
Jl. Pabuaran, RT.003/RW.001, Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16921
Kabupaten Bogor dikenal sebagai salah satu daerah dengan dinamika sosial, budaya, dan lingkungan yang khas. Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup telah memicu meningkatnya volume sampah. Kondisi ini menuntut solusi berkelanjutan yang tidak hanya mengandalkan teknologi modern, tetapi juga menggali nilai-nilai kearifan lokal.
Masyarakat
Sunda, termasuk yang tinggal di Kabupaten Bogor, memiliki filosofi hidup yang
menekankan harmoni dengan alam. Prinsip silih asah, silih asih, silih asuh
serta pepatah leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak menegaskan
pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Budaya ini bisa dijadikan fondasi
solusi pengelolaan sampah yang lebih partisipatif.
PERMASALAHAN SAMPAH DI
KABUPATEN BOGOR
Permasalahan
sampah di Kabupaten Bogor semakin kompleks seiring pertumbuhan penduduk yang mencapai
lebih dari 5,6 juta jiwa. Setiap harinya, timbulan sampah tercatat sekitar
2.757–2.800 ton, namun hanya sekitar 700–900 ton yang berhasil diangkut ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga. Artinya, lebih dari 1.800 ton sampah per
hari tidak tertangani dengan baik dan berpotensi menumpuk di lingkungan,
dibakar sembarangan, atau mencemari aliran sungai. Kesenjangan besar antara
produksi dan pengelolaan ini menjadi masalah utama dalam tata kelola sampah
daerah.
Kondisi TPA
Galuga sendiri sudah berada di titik kritis, dengan volume sampah yang jauh
melebihi kapasitas, hanya sebagian kecil yang dapat diolah dengan baik,
sementara sisanya menumpuk dan menimbulkan dampak serius, seperti bau
menyengat, air lindi yang mencemari tanah dan sungai, hingga risiko longsor
sampah. Pemerintah Kabupaten Bogor bahkan harus mengalokasikan dana darurat
sebesar Rp25 miliar untuk penanganan, yang mencakup perapihan timbunan hingga
penerapan metode sanitary landfill. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan yang ada belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan sampah harian.
Meski
begitu, langkah regulatif seperti penerapan Peraturan Bupati (Perbup) tentang
Bogor Asri Tanpa Plastik (Antik) memberikan dampak positif. Data menunjukkan
produksi sampah berkurang dari sekitar 2.800 ton menjadi 2.436 ton per hari,
atau berkurang ±364 ton per hari. Walaupun masih menyisakan masalah struktural,
penurunan ini membuktikan bahwa kebijakan berbasis regulasi dan perubahan
perilaku masyarakat dapat membantu mengurangi beban sampah..
KEBERSIHAN
DALAM FILOSOFI SUNDA
Masyarakat
Sunda memiliki falsafah hidup yang menekankan kebersihan lahir dan batin.
Pepatah “resik jantungna, resik lemburna” menggambarkan keterhubungan
antara kebersihan hati dan kebersihan lingkungan sekitar. Dalam ajaran Sunda
Wiwitan maupun tradisi Islam yang melekat kuat, kebersihan dianggap bagian dari
iman.
Konsep
“cageur, bageur, bener, pinter, tur singer” juga menunjukkan bahwa sehat
dan bersih (cageur) menjadi fondasi penting bagi pribadi yang baik. Bagi
orang Sunda, lingkungan yang kotor dianggap mencerminkan kelalaian moral
masyarakatnya. Dengan demikian, nilai-nilai ini dapat menjadi modal sosial yang
kuat untuk mendorong perilaku peduli sampah.
SOLUSI BERBASIS BUDAYA
SUNDA
1. Menghidupkan
Nilai Gotong Royong (Sabilulungan)
Budaya
Sunda memiliki semangat sabilulungan yang berarti gotong royong atau
kerja bersama. Nilai ini dapat dijadikan landasan dalam pengelolaan sampah di
tingkat desa maupun perkotaan. Melalui kegiatan bersama, seperti kerja bakti
rutin, Ngajaga Lembur, atau program Jumsih (Jumat Bersih),
masyarakat tidak hanya membersihkan lingkungan tetapi juga mempererat
solidaritas sosial. Semangat kebersamaan ini membuat tanggung jawab pengelolaan
sampah terasa lebih ringan.
2. Edukasi
Berbasis Pepatah Sunda
Kearifan
lokal Sunda banyak terekam dalam pepatah yang sarat makna, salah satunya berekah
tina beresih yang menegaskan bahwa kebersihan membawa berkah. Pepatah
semacam ini dapat digunakan sebagai alat edukasi yang dekat dengan kehidupan
masyarakat. Sosialisasi kebersihan berbasis budaya lokal bisa dilakukan melalui
sekolah, pengajian, hingga pertemuan desa, sehingga pesan moral yang
disampaikan lebih mudah diterima. Dengan pendekatan ini, nilai kebersihan tidak
hanya menjadi kewajiban praktis, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang
diwariskan turun-temurun.
3. Penguatan
Lembaga Adat dan Sanksi Sosial
Masyarakat
Sunda tradisional memiliki mekanisme pengawasan sosial melalui lembaga adat.
Prinsip ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan sampah. Misalnya,
warga yang membuang sampah sembarangan bisa dikenai teguran atau sanksi sosial
yang ringan, seperti membersihkan fasilitas umum. Sebaliknya, warga yang
konsisten menjaga kebersihan diberikan apresiasi atau penghargaan oleh tokoh
masyarakat..
4. Bank
Sampah Berbasis Komunitas
Konsep
silih asah, silih asih, silih asuh yang berarti saling mengajari,
mengasihi, dan mengasuh dapat menjadi filosofi pengelolaan bank sampah. Melalui
bank sampah, warga didorong untuk memilah dan menyetorkan sampah anorganik
seperti plastik atau kertas. Hasil penjualan kemudian bisa digunakan untuk
menambah kas desa, membiayai kegiatan sosial, atau memberikan insentif kepada
warga yang aktif. Dengan pengelolaan berbasis komunitas, bank sampah bukan
hanya alat pengurangan sampah, tetapi juga menjadi media pemberdayaan ekonomi
sekaligus memperkuat kebersamaan.
5. Inovasi
Produk Daur Ulang Berbasis Seni Sunda
Masyarakat
Sunda kaya dengan seni dan kerajinan tangan, dan potensi ini bisa dikembangkan
melalui daur ulang sampah. Plastik bekas dapat dianyam menjadi tas atau tikar
dengan motif tradisional, sementara kain dan botol dapat diolah menjadi
kerajinan unik. Pelatihan daur ulang berbasis seni Sunda bisa diberikan kepada
ibu rumah tangga dan pemuda, sehingga sampah yang semula dianggap beban justru
menjadi sumber nilai ekonomi..
6. Gerakan
Religius: Kebersihan Sebagai Bagian dari Iman
Mayoritas
masyarakat Sunda beragama Islam, dan ajaran “kebersihan sebagian dari iman”
sejalan dengan falsafah hidup Sunda. Gerakan kebersihan bisa diperkuat melalui
pendekatan religius, misalnya dengan menjadikan masjid sebagai pusat edukasi
lingkungan. Ceramah keagamaan dapat mengaitkan nilai kebersihan dengan ajaran
agama sekaligus budaya Sunda, sehingga pesan lebih membekas. Dengan pendekatan
spiritual ini, masyarakat akan lebih terdorong menjaga kebersihan, karena bukan
hanya urusan sosial tetapi juga dianggap bagian dari ibadah.
7. Festival
Budaya dan Lingkungan
Budaya
Sunda selalu identik dengan kesenian dan tradisi kolektif. Mengemas pengelolaan
sampah dalam bentuk festival dapat membuatnya lebih menarik dan membudaya.
Misalnya, lomba kampung bersih dengan penilaian berbasis adat Sunda, pementasan
seni bertema lingkungan, atau festival daur ulang dengan pameran produk ramah
lingkungan. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat, kegiatan ini juga menjadi
sarana hiburan sekaligus pelestarian budaya. Dengan cara ini, isu sampah tidak
lagi dianggap sekadar beban, melainkan bagian dari kreativitas dan perayaan
budaya lokal.
8. Kolaborasi
dengan Pemerintah dan Akademisi
Solusi
berbasis budaya Sunda perlu diperkuat dengan dukungan modern dari pemerintah
dan akademisi. Pemerintah dapat menyediakan regulasi, fasilitas, dan insentif,
sementara akademisi berperan dalam penelitian dan pengembangan inovasi
teknologi pengelolaan sampah. Kolaborasi ini harus melibatkan tokoh adat,
sekolah, komunitas, dan dunia usaha, sehingga solusi yang dihasilkan lebih
holistik. Integrasi antara nilai lokal dan ilmu modern yang berkelanjutan,
diterima masyarakat, sekaligus efektif mengatasi persoalan nyata.
KESIMPULAN
Permasalahan
sampah di Kabupaten Bogor tidak bisa hanya ditangani dengan pendekatan teknis
dan regulasi semata. Dibutuhkan pendekatan kultural yang berbasis pada nilai
dan kearifan lokal masyarakat. Budaya Sunda, dengan filosofi, tradisi gotong
royong, dan pandangan ekologisnya, memberikan landasan yang kuat untuk
membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan kolaborasi
antara pemerintah, kampus, dan masyarakat, solusi sampah berbasis budaya Sunda
bukan hanya menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga menguatkan identitas
budaya sebagai modal sosial pembangunan berkelanjutan.
Penulis :
Wahyu Bagja Sulfemi, M.Pd.
Wakil Rektor 2
Bisnis Dgital